16 Desember 2025 12:38:32
Kalau kita tidak bisa menyelamatkan seribu pohon, maka setidaknya tanamlah satu pohon. FIRMAN YUSI, SP Anggota DPRD Provinsi Kalsel Kabid Advokasi, Kebijakan Publik, Ketenagakerjaan, Petani, Peternak & Nelayan DPW PKS Kalsel Dunia kita sedang berbicara dalam bahasa yang tidak lagi bisa kita abaikan. Suaranya adalah mencairnya es di kutub, napasnya adalah udara yang kian panas dan tercemar, dan tangisnya adalah hilangnya ribuan spesies setiap tahunnya. Di tengah laporan-laporan ilmiah yang suram dan bencana iklim yang kian sering, pesimisme mudah sekali bersarang. Sebuah pertanyaan menghantui: “Apa gunanya usaha kecil saya, ketika masalahnya begitu besar?” Fenomena ini, sering disebut “eco-anxiety” atau “solastalgia” (kesedihan akan kerusakan lingkungan tempat tinggal), melumpuhkan banyak orang, membuat mereka diam dalam kepasifan karena merasa tindakan individu tidak ada artinya. Di sinilah falsafah sederhana namun dahsyat hadir sebagai penawar: “Kalau kita tidak bisa menyelamatkan seribu pohon, maka setidaknya tanamlah satu pohon.” Kalimat ini bukan sekadar ajakan untuk menanam. Ini adalah sebuah deklarasi filosofis, sebuah strategi psikologis, dan sebuah peta jalan aksi kolektif. Ia mengakui keterbatasan kita tanpa menyerah pada keputusasaan. Ia memusatkan perhatian pada apa yang mungkin, bukan pada apa yang mustahil. Bagi organisasi peduli lingkungan, kalimat ini bukan slogan, melainkan inti dari semangat dan metodologi perjuangan: semangat yang mengubah beban menjadi harapan, dan pesimisme menjadi progres yang nyata. Pesimisme terhadap usaha perbaikan lingkungan bukanlah sikap yang muncul dari ruang hampa. Perubahan iklim, deforestasi, polusi plastik di lautan—semuanya adalah masalah global dengan angka-angka yang astronomis. Menyebut “jutaan hektar hutan hilang” atau “miliaran ton karbon dioksida” menciptakan jarak psikologis. Otak kita sulit memproses angka sebesar itu, yang pada akhirnya menciptakan perasaan “tidak terjangkau” dan “di luar kendali”. Masyarakat sering dihadapkan pada narasi yang menyalahkan individu (kurangi sampah plastikmu!) sementara sebagian besar emisi dan kerusakan berasal dari sistem industri dan kebijakan korporasi yang tidak berkelanjutan. Kesenjangan ini menimbulkan kekecewaan dan sikap sinis: “Mereka yang merusak tidak bertanggung jawab, mengapa saya yang harus berkorban?” Kecurigaan bahwa jika saya berusaha keras sementara orang lain tidak, maka usaha saya akan sia-sia dan orang lain akan menikmati keuntungannya. Ini mematikan motivasi untuk memulai. Banjir informasi—mulai dari diet ramah lingkungan, energi terbarukan, hingga fast fashion—seringkali kontradiktif dan membingungkan. Hal ini dapat menyebabkan “paralisis analisis”, di mana seseorang begitu kewalahan sehingga memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Pesimisme adalah monster yang mengatakan, “Kamu terlalu kecil, masalahnya terlalu besar. Berhentilah.” Organisasi lingkungan hidup bertugas bukan untuk menyangkal keberadaan monster ini, tetapi untuk mengakui suaranya, lalu membekali setiap orang dengan senjata untuk melawannya: satu tindakan nyata. Menanam satu pohon adalah sebuah tindakan yang penuh makna filosofis. Ia adalah penolakan terhadap nihilisme ekologis. Sebuah biji yang tertanam adalah pernyataan keyakinan akan masa depan. Kita mempercayai bahwa akan ada hari esok yang cukup panjang bagi benih itu untuk tumbuh, bahwa bumi masih akan menyediakan air dan nutrisi. Dalam konteks pesimisme, menanam adalah tindakan beriman—bukan dalam arti religius semata, tetapi beriman pada proses, pada siklus alam, dan pada kapasitas kehidupan untuk pulih. Dengan menanam satu pohon, kita mengklaim kembali kekuatan dan tanggung jawab kita. Kita bergerak dari posisi “korban” pasif dari sistem yang rusak, menjadi “agen” aktif perbaikan. Tindakan kecil ini memutus siklus mental ketidakberdayaan. Psikologi membuktikan bahwa tindakan proaktif, sekecil apa pun, mengurangi kecemasan dan meningkatkan perasaan bermakna. Tidak ada perubahan besar yang terjadi secara instan. Perubahan adalah akumulasi dari titik-titik kritis kecil. Satu pohon mungkin tidak menghentikan banjir, tetapi seribu pohon yang ditanam oleh seribu individu yang terinspirasi oleh filosofi yang sama dapat mengubah aliran air, mencegah erosi, dan menciptakan mikro-iklim. Satu tindakan adalah partikel kecil yang mendorong sistem mendekati titik ambang menuju transformasi. Menyelamatkan “seribu pohon” di Kalimantan mungkin terasa jauh dan abstrak. Namun, menanam satu pohon di halaman sekolah, di tepi jalan kampung, atau di lahan kritis dekat rumah adalah sesuatu yang langsung, kontekstual, dan dapat dipantau. Keberhasilannya terlihat, dampaknya dirasakan (naungan, buah, serapan air). Ini membangun hubungan emosional dan tanggung jawab langsung antara si penanam dan lingkungan sekitarnya. Di sinilah organisasi peduli lingkungan berperan sentral. Mereka adalah katalisator yang mengubah energi potensial dari ribuan “satu pohon” individu menjadi kekuatan kolektif yang terorganisir dan berdampak sistemik. Organisasi mengubah tindakan personal menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar. Ketika seseorang menanam pohon melalui program “One Man One Tree” atau “Adopsi Pohon”, ia tidak hanya menanam untuk dirinya sendiri. Ia menjadi bagian dari data statistik, dari peta penghijauan, dari cerita sukses kolektif yang bisa dilaporkan dan dibanggakan. Ini memberikan makna sosial pada tindakan individu. Organisasi menciptakan komunitas yang saling mengawasi dan mendukung. Melalui kelompok ini, setiap orang bisa melihat bahwa orang lain juga berkomitmen. Trust (kepercayaan) dibangun. Tidak ada lagi perasaan berjuang sendirian. Kerja bakti penghijauan, misalnya, adalah manifestasi fisik dari prinsip gotong royong mengelola “commons” (milik bersama). Organisasi berperan sebagai kurator informasi yang terpercaya. Daripada membingungkan anggota dengan semua masalah, mereka dapat berkata, “Mari kita fokus pada satu solusi konkret yang bisa kita lakukan bersama minggu ini: menanam pohon jenis ini, di lokasi ini, dengan cara ini.” Ini menghilangkan kebingungan dan memandu aksi langsung. Organisasi dapat mendokumentasikan progres. Foto “before-after” sebuah bukit gundul yang menjadi rimbun setelah lima tahun penanaman berkala adalah senjata ampuh melawan pesimisme. Data karbon terserap, jumlah keluarga yang sumber airnya pulih, atau peningkatan keanekaragaman hayati lokal menjadi bukti nyata bahwa usaha kecil yang konsisten membuahkan hasil. Sementara anggota bergerak di akar rumput dengan menanam pohon, organisasi dapat menggunakan momentum, data, dan legitimasi dari aksi tersebut untuk melakukan lobi dan advokasi. Mereka dapat mendorong peraturan daerah tentang ruang terbuka hijau, mengawasi izin penebangan, atau mengusulkan kebijakan penghijauan kota. “Satu pohon” yang ditanam warga menjadi bukti komitmen publik yang tidak bisa diabaikan oleh pembuat kebijakan. Mengapa pohon? Karena pohon adalah unit ekosistem yang lengkap dan metafora yang sempurna untuk kesinambungan. Akar satu pohon menyimpan ribuan liter air, mencegah kekeringan dan banjir. Ia mengikat tanah, mencegah longsor. Sepanjang hidupnya, satu pohon menyerap puluhan ton karbon dioksida. Ia adalah teknologi alamiah paling efisien untuk mitigasi iklim. Satu pohon menjadi rumah bagi ratusan spesies: burung, serangga, mamalia kecil, jamur, mikroba. Menanam satu pohon adalah membangun sebuah apartemen untuk keanekaragaman hayati. Kontak dengan pohon dan alam (shinrin-yoku atau “forest bathing”) terbukti menurunkan stres, meningkatkan mood, dan memperkuat sistem imun. Dengan menanam pohon, kita juga menanam “kesehatan mental” bagi komunitas. Satu pohon yang ditanam hari ini akan memberikan naungan, buah, dan keindahan untuk generasi berikutnya. Ia adalah pesan harapan untuk anak cucu kita. Organisasi lingkungan harus secara aktif membangun narasi tandingan terhadap pesimisme. Tegaskan bahwa perubahan ekologis bukan seperti mengubah saluran TV. Ia seperti menumbuhkan hutan—perlahan, bertahap, tetapi pasti. Setiap pohon adalah investasi jangka panjang. Planet Bumi akan terus berputar. Isunya adalah tentang menyelamatkan kelayakhunian planet ini untuk manusia dan spesies lainnya. Fokus pada penciptaan dunia yang lebih sehat, adil, dan indah untuk dihuni hari ini. Alih-alih hanya menyoroti rasa bersalah dan ketakutan (doom and gloom), soroti sukacita dalam aksi. Kegembiraan melihat tunas pertama, kepuasan makan buah dari pohon yang ditanam sendiri, kebanggaan melihat burung bersarang. Aksi lingkungan bukan hanya pengorbanan, tetapi juga sumber kebahagiaan dan identitas yang positif. Kalimat “tanamlah satu pohon” adalah sebuah revolusi mental. Ia adalah perlawanan halus terhadap budaya instan dan keputusasaan. Ia mengajarkan kita bahwa di hadapan tantangan yang sangat besar, kejayaan tidak terletak pada menyelesaikan semua masalah sekaligus, tetapi pada keberanian untuk mengambil bagian, sekecil apa pun. Bagi organisasi peduli lingkungan, misi mereka adalah menjadi inkubator bagi biji-biji keberanian ini. Mereka adalah tanah subur di mana semangat individu bertemu strategi kolektif. Dengan merangkul filosofi “satu pohon”, organisasi tidak hanya menambah jumlah vegetasi di bumi, tetapi juga menumbuhkan hutan harapan di dalam hati manusia. Mereka membuktikan bahwa kita tidak perlu menjadi pahlawan super yang menyelamatkan dunia sendirian. Kita hanya perlu menjadi tetangga yang peduli, warga yang bertanggung jawab, dan bagian dari komunitas yang percaya bahwa sekumpulan aksi kecil yang terkoordinasi dengan baik pada akhirnya akan menciptakan gelombang perubahan yang dahsyat. Jadi, mari kita mulai. Tidak dengan mengutuk kegelapan, tetapi dengan menyalakan lilin kecil. Tidak dengan meratapi hilangnya seribu pohon, tetapi dengan membenamkan satu biji ke dalam tanah, menyiraminya dengan tekun, dan merawatnya dengan sabar. Dari biji itu, mungkin akan tumbuh bukan hanya sebuah pohon, tetapi juga sebuah keyakinan: bahwa di tengah segala pesimisme, tindakan kita—sungguh-sungguh, konsisten, dan kolektif—tetap memiliki kekuatan untuk menulis ulang masa depan. Dan siapa tahu, dari satu pohon itu, suatu hari nanti, akan tumbuh hutan yang lebat; hutan yang tidak hanya terdiri dari pepohonan, tetapi dari jutaan kisah tentang manusia yang memilih untuk tidak menyerah, dan memilih untuk menanam.